Blogger templates

Sabtu, 06 Februari 2016

Monolog Jalang


Malam memuram. Aku tau kau malas menampakkan diri. Bergerak turun pun kau tak sudi dari singgasana itu. Aku mengerti. Karena kuperlakukan kau dengan sangat tidak manusiawi.
Iya kan? Dendamkah kau?
Dan saat keputusan ini tiba, di mana kekuasaan berada di tanganmu sepenuhnya, apakah kau ingin hadir dengan prediksi yang tersia-sia olehku atau mati dengan luka meruah di atas singgasana itu, maka kuputuskan untuk memberitahumu akan sesuatu.
Sebelum aku atau kau yang binasa, inginkah kau tahu kenapa kuperlakukan kau seperti itu selama ini? Seakan-akan kau nihil dalam hidupku dan tidak kuindahkan keberadaanmu sebagai seorang anak manusia, inginkah kau mengetahuinya?
Setidaknya dengarkan dulu penjelasanku sebelum kita berdua memalingkan wajah satu sama lain karena ketidaktertarikanmu pada hidup ini. Asal kau tahu, hidup ini adalah penderitaan. Atau memang hanya hidupku saja yang menderita sebegitu parahnya hingga terlalu pilu untuk dijadikan sebuah lagu?
Hai, kau yang sedang duduk di singgasana kehormatan itu! Aku memulai kisah ini dengan kepiluan kacang yang dipaksa terlepas dari kulitnya. Ditekan, dikuliti dan dilepas tanpa perasaan, seperti jalang. Lalu dimakan dengan sekali gigit dan berakhir dalam sebuah telan.
Kupikir mereka sayang, maka aku pun senang. Kukira mereka tulus, tidak tahunya hanya akal bulus. Bagi mereka, kehadiran seorang anak adalah untuk menambah pemasokan beras di rumah. Jual tubuh. Mereka menukarku untuk segantang beras. Dengan harapan aku senang dan mereka dapat kenyang.
Dalam usia ketika aku baru mengerti bahwa Tibet berbeda dengan Tebet, aku digiring dengan kawat besi, dipaksa menjadi makanan harian yang dilepas satu-persatu secara perlahan oleh mereka yang tak tahu .
Oleh manusia-manusia penjambak rambut itu, aku memar dan terluka untuk selamanya. Tak ada yang dapat menambal kepercayaanku yang telah koyak kepada kaum-kaum itu. Adakah yang baik? Yang berbeda spesies dari yang kuhadapi selama ini? “Jika ada, potong tanganku dan cacah dagingnya!” teriakku.
Dan saat mengetahui kau memilihku untuk hidup bersama kelak, aku hanya bisa acuh. Sakit ini pada hidup yang kejam, sudah terlalu banyak tinta hitam dalam kertas putihku sebagai seorang manusia. Bagiku ia hanya kelam. Tak butuh aku ganti kertas putih penuh noda itu.
Hati nuraniku mulai cerewet. Ia minta agar aku memulai lagi dengan kertas putih yang baru, untuk kujalani bersamamu kelak. Kubilang bahwa aku tidak mengharapkanmu untuk memilihku. Dengan adanya kau, hidupku menjadi bertambah sulit. Dulu kupikir aku tak akan mengenal kebaikan lagi, hanya kepahitan.
Tapi aku salah! Kau, walaupun tak berdaya, mengajarkanku sebuah kehidupan yang harus kujaga. Merekuh sebuah perantara selaput kulit. Kita hanya terpisah beberapa cm dalam tubuh yang sama. Aku dapat merasakanmu ketika kau mulai ingin bermain. Tidak sabar keluar dan ingin menantang dunia.
Kau kukenal tak lebih separuh usiaku. Aku menjadi mengerti makna berbagi, ketulusan, kasih sayang dan penerimaan. Cinta kasih yan luar biasa dianugerahkan hanya untuk pelacur jalang sepertiku. Kau mengajariku begitu bayak pelajaran akan hidup ini.
Dan setelah berbulan-bulan, dalam sebuah ruangan persegi berwarna putih ini, keringat dinginku mulai bercucuran. Demi melihat nafasmu. Aku meregang nyawa di ruangan ini, demi melihat apakah kau mencintaiku atau ingin meninggalkanku seperti mereka. Dan dalam regangan nyawa ini aku paham bahwa kau ingin membuatku mengerti akan hidup ini.
Kurasai kau mengangguk. Melorot perlahan untuk turun. Menyetujui untuk turun dari singgasana itu, menyambutku keluar dan meneriakkan tangisanmu yang kuketahui selama ini kau pendam. Aku tarik seribu nafasku agar kau dapat leluasa keluar. Dengan segenap kekuatan dunia yang kumiliki selama ini kukerahkan kau untuk turun dari singgasana yang enggan melepasmu.
Teriakan itu. Tangis itu. Aku dan kau bagai terlahir menjadi selembar kertas putih. Aku menjadi baru dan kita bersatu.
Dan disaat rintih tak dapat kurengkuh, maka desahan lagu itu akan mereguk nafas kita berdua. Tangismu mewujud dalam harmoni. Siluet putih itu menjemputku pergi menjauh darimu yang baru saja setuju untuk turun memeluk.
Maaf, kutitipkan kau pada dunia dengan segala doa terbaikku agar kau aman untuk hidup. Aku tau kau menggenggam jari telunjukku erat. Di atas perutku, kau menempelkan tubuhmu tak mau berpisah. Aku tau kau ingin mendengar detak jantungku yang perlahan mulai memelan iramanya kan?
Jangan khawatir! Walaupun detak jatung ini tak dapat kau dengar nanti, aku selalu menjadi irama dalam harmonimu, menjadi lirik dalam lagumu dan menjadi nada dalam musikmu.
Terimakasih atas kelahiranmu, terimakasih atas kematianku.
Lanjutkan harmoni itu, nak. Rengkuh ia dan genggam erat tanpa harus kau rasa terjatuh seperti hidupku.
Salam, ibu yang melahirkan dan menyayangimu.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com